diyetekno – Sebuah studi terbaru dari IBM memberikan angin segar di tengah kekhawatiran akan hilangnya pekerjaan akibat kecerdasan buatan (AI). Alih-alih memangkas jumlah karyawan, perusahaan justru berinvestasi pada peningkatan keterampilan (reskilling) dan bahkan memberikan gaji yang lebih tinggi bagi mereka yang mahir menggunakan AI.
Studi yang melibatkan 3.000 eksekutif C-suite secara global ini menemukan bahwa hampir 40% tenaga kerja perlu meningkatkan keterampilan mereka dalam tiga tahun ke depan akibat AI dan otomatisasi. Namun, mayoritas perusahaan tidak melakukan PHK. Mereka menyadari pentingnya adaptasi dan peningkatan kompetensi karyawan di era digital ini.

Salah satu temuan menarik dari studi IBM adalah pekerja yang menggunakan AI dalam pekerjaan mereka cenderung mendapatkan gaji yang lebih tinggi. Keterampilan dalam menggunakan AI, seperti membuat prompt yang efektif, melakukan fine-tuning model AI seperti ChatGPT, Gemini, dan Claude, serta berkolaborasi dengan AI, sangat dihargai. Hal ini menandakan meningkatnya permintaan akan "kemampuan AI" di berbagai departemen, tidak hanya di bidang teknologi dan rekayasa. Karyawan yang memanfaatkan AI untuk membuat spreadsheet, melakukan riset lebih cepat, dan menulis dengan lebih cerdas memiliki peluang sukses yang lebih besar.
IBM juga menemukan bahwa organisasi yang fokus pada reskilling memiliki kemungkinan 63% lebih besar untuk mengungguli pesaing mereka dalam pertumbuhan pendapatan, dan 44% lebih mungkin melaporkan peningkatan kepuasan pelanggan. Investasi pada sumber daya manusia dan adaptasi terhadap teknologi baru terbukti memberikan dampak positif bagi kinerja perusahaan.
Di tengah gelombang PHK di perusahaan teknologi, penting untuk dicatat bahwa tidak semua PHK disebabkan oleh AI. CEO Amazon, Andy Jassy, menegaskan bahwa keputusan untuk memangkas lebih dari 14.000 pekerjaan di perusahaannya bukan karena AI menggantikan manusia, melainkan tentang perubahan budaya perusahaan. Amazon berupaya menghilangkan lapisan birokrasi yang tidak perlu agar dapat beroperasi lebih gesit seperti startup.
Penting untuk dipahami bahwa meskipun AI dapat mengotomatiskan tugas-tugas repetitif, banyak perusahaan mendistribusikan kembali talenta mereka, bukan menghilangkannya. Mereka fokus pada keunggulan yang masih dimiliki manusia, seperti kreativitas, pemikiran kritis, dan kemampuan interpersonal.
Alih-alih takut kehilangan pekerjaan, pekerja sebaiknya fokus pada bagaimana meningkatkan keterampilan mereka dan menjadikan AI sebagai mitra, bukan ancaman. Alat seperti ChatGPT, Microsoft Copilot, dan Google Gemini menjadi asisten sehari-hari bagi para profesional di berbagai bidang. Kemampuan untuk memahami nuansa, penalaran kontekstual, dan kolaborasi yang ditingkatkan dengan AI menjadi keterampilan penting di tempat kerja.
AI bukanlah akhir dari pekerjaan, tetapi awal dari tenaga kerja yang lebih cerdas dan berdaya. Karyawan dengan bayaran terbaik bukanlah mereka yang takut pada AI, tetapi mereka yang belajar menggunakannya.

